Saturday, May 10, 2008

Milik

Seorang perempuan murka, sebab kekasihnya tiba-tiba mengaku mencintai perempuan lain. Padahal mereka hendak menikah, dan janji-janji telah terucap. “Kita saling memiliki!” jeritnya mengoyak malam. Hening menjawabnya di tengah kelam.

Seorang lelaki meringkuk di sudut ruang, siang tadi ia baru diberi tahu, kontrak kerjanya tak akan diperpanjang. Ia tak tahu, bagaimana ia bisa mengabarkan musibah ini pada istrinya di rumah. Tiga anak mereka, semua mesti sekolah. Apa yang bisa ia lakukan? Kini ia bahkan tak sanggup melangkah pulang.

Seorang anak tersedu di pinggir selokan. Buku baru pemberian ibunya jatuh dan hanyut di tengah deras sisa air hujan. Sesiang tadi ia membacakan cerita dalam buku itu pada teman-temannya. Mereka asyik tenggelam dalam kisah petualangan seru yang membawa mereka menjelajah ruang fantasi tak berbatas. Kini buku itu hanyut sudah. Tak ada lagi bacaan seru.

Kehilangan adalah rasa yang selalu menyisakan getir tiap kali ia datang menyapa. Adakah diantara kita yang tak pernah merasakannya? Tidak. Tiada seorangpun terluput dari sentuhannya.

Mana yang lebih berat: kehilangan kekasih, pekerjaan, atau buku? Semua tergantung dari perspektif yang kita punya. Namun saya yakin, tiga individu yang saya sebut di atas merasakan kepedihan yang serupa. Dari titik di mana mereka berpijak, kehilangan yang mereka alami tentu terasa berat.

Ada kalanya seseorang merasa kehilangan segalanya. Sebab terkadang ‘kehilangan’ menyapa kita dalam bentuk jamak; menghantam bertubi tanpa ampun. Memporakporandakan dunia kecil kita; meruntuhkan langit, melontarkan kita ke ruang hampa tanpa pijakan tanpa naungan. Lantas kita tergoda untuk mengutuki hidup yang [seperti] tak punya rasa kasihan.

Ah, sungguhkah hidup sedemikian kejam? Mari kita telaah, apa sesungguhnya yang hilang.

Apakah kita memiliki orang yang kita sebut ‘kekasih’? Tidak. Ia manusia merdeka. Tak ada seorang pun yang bisa memiliki orang lainnya, sebab era perbudakan sudah lagi lewat ditelan arus zaman. Semua orang yang kita cintai bisa saja ‘lenyap’ dari hidup kita; entah karena ia memilih untuk menjalani hidup bersama orang lain, atau karena suatu alasan mesti memutuskan untuk berpisah, atau bahkan karena kematian.

Namun jika kita mencintai orang itu dengan tulus, apakah cinta itu hilang? Tidak, tak akan pernah. Kecuali jika kita memilih untuk mengabaikan cinta yang tulus tersebut dan membiarkannya hilang. Cinta yang tulus tak akan pernah bisa diambil orang lain.

Apakah kita memiliki pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari? Tidak. Pekerjaan itu dipinjamkan oleh orang yang mempekerjakan kita… Hanya dipinjamkan. Dan bahkan itu pun bukan miliknya. Pekerjaan hanyalah sekedar nafkah penyambung hidup. Ia bisa hilang kapanpun, dengan beragam sebab yang acap kali datang di luar dugaan.

Ketika kita kehilangan pekerjaan, apakah lantas kita kehilangan kemampuan mencari nafkah, kehilangan daya juang untuk menghidupi diri dan menghidupi orang-orang yang kita kasihi? Tentu tidak. Kemampuan mencari nafkah, daya juang untuk menghidupi orang-orang tersayang tak bisa hilang dari kita, kecuali jika kita membiarkan diri tenggelam dalam keputusasaan. Tak ada yang bisa mengambilnya, hanya kita yang bisa menghilangkannya.

Apa yang penting dari sebuah buku? Substansinya. Secara fisik, sebuah buku hanyalah setumpuk kertas bertulisan yang terjilid dalam sebuah kesatuan. Itu saja, tak lebih. Yang membuatnya penting adalah isinya, kisah yang tertulis di dalamnya, buah pikiran penulis yang tersampaikan pada kita. Ketika kita berhasil menyerap substansi sebuah buku, maka ia telah menyelesaikan tugasnya.

Siapa yang bisa mengambil buah pikir yang pernah kita serap? Tak seorangpun. Hanya jika kita tidak memelihara ingatan dan pikiran, maka substansi tersebut akan menguap tanpa sisa. Tak ada orang lain yang bisa mengambilnya.

Lalu apa yang hilang?

Hal-hal terpenting dalam hidup adalah segala yang tak bisa dirampas oleh orang lain. Cinta kasih yang tulus, daya hidup untuk terus berjuang, pikiran yang selalu kita asah… Tak ada yang bisa mengambil semua itu dari kita. Dan ketika seseorang berkenalan dengan kesadaran ini, maka ia menjadi orang yang sangat kaya: ia telah menjadi manusia merdeka.


Ultimus, 8 Mei 2008 ; 20.21